Senin, 27 Juli 2009

KPU Bimbang Tanggapi Putusan MA

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali disorot. Kali ini terkait dengan sikap mereka yang hingga kemarin masih mengambang dalam menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan aturan KPU tentang cara penghitungan kursi tahap kedua bagi anggota DPR.

Tentu, sikap KPU yang terkesan masih bimbang itu membuat sejumlah caleg merasa nasibnya digantung. ''Kami menerima banyak masukan. Namun, kami masih mengkaji,'' kata Andi Nurpati, anggota KPU bidang teknis dan tahap pemilu, di kantor KPU, Jakarta, kemarin (27/7).

Kamis pekan lalu (23/7), MA mengumumkan putusannya membatalkan pasal 22 huruf c serta pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No 15 Tahun 2009. Pasal-pasal yang mengatur tata cara pembagian kursi tahap II untuk DPR itu dianggap tidak adil oleh beberapa caleg DPR dari Partai Demokrat.

Di antaranya, Zaenal Ma'arif (dapil Jateng V), Yosef B. Badoeda (dapil NTT I), M. Utomo A. Karim (dapil Jatim VII), dan Mirda Rasyid (dapil Lampung I). Mereka lantas mengajukan permohonan uji materiil ke MA dan dikabulkan.

MA beralasan, pasal 22 dan 23 itu bertentangan dengan pasal 205 ayat 4 UU Pemilu No 10/2008. Karena itu, konsekuensi putusan MA tertanggal 18 Juli tersebut membuat peta caleg terpilih bakal berubah.

Sebab, KPU diharuskan merevisi Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Pemilu Legislatif (perbandingan tata cara penghitungan kursi tahap kedua untuk DPR antara versi peraturan KPU dengan putusan MA, baca grafis).

Partai yang paling diuntungkan jika putusan MA itu dilaksanakan KPU adalah Demokrat. Sebab, jumlah kursi mereka bakal bertambah. Jika mengikuti aturan KPU, mereka mendapat 150 kursi. Namun, bila mengikuti putusan MA, kursi mereka menjadi 180.

Sementara itu, partai-partai yang merasa dirugikan oleh putusan MA tersebut adalah PPP, PAN, Hanura, dan PKS. Jumlah kursi mereka menyusut. Yang paling banyak susut adalah PPP. Jika mengikuti aturan KPU, jumlah kursi mereka 37. Namun, jika mengikuti putusan MA, jumlah kursi tersebut menyusut menjadi 21 (selengkapnya tentang perbandingan perolehan kursi partai-partai antara versi KPU dan putusan MA, baca grafis).

Pertanyaannya, apakah putusan MA tersebut bakal dilaksanakan KPU atau tidak? Hingga kemarin, sikap lembaga penyelenggara pemilu itu masih belum jelas.

Andi menyatakan, ada pertimbangan kuat dari KPU untuk tidak terburu-buru memutuskan. Sejak adanya putusan tersebut, KPU terus mendapatkan masukan dari pihak luar. Bukan hanya dari parpol yang merasa dirugikan, parpol yang diuntungkan oleh putusan MA itu juga memberi usul kepada KPU.

Dari usul tersebut, ternyata terjadi perbedaan pendapat. ''Ada kajian dari kami sendiri. Menyikapi putusan MA ini bukan sesuatu yang mudah,'' tegasnya.

Salah satu hal yang dibahas KPU bukan keputusan untuk melaksanakan putusan MA atau tidak. Andi menegaskan bahwa tahap penghitungan kursi dan penetapan caleg terpilih untuk DPR telah selesai. Salah satu pekerjaan rumah bagi KPU terkait revisi penetapan caleg adalah penghitungan kursi pada tahap III berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dasar KPU untuk membahas itu adalah bahwa yang berhak mengubah hasil pemilu hanyalah MK, bukan MA. Namun, hal tersebut saat ini tidak bisa dijadikan opsi. Sebab, akan ada pihak yang menggugat KPU, jika putusan MA tidak dilaksanakan. ''Hal-hal itulah yang membuat kami belum memutuskan,'' ungkapnya.

Di tempat terpisah, Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A. Tumpa menjelaskan, putusan mengenai pembatalan mekanisme penghitungan kursi tahap kedua sudah final. Dia menyatakan, putusan itu ditetapkan karena mahkamah beranggapan bahwa peraturan KPU tersebut bertentangan dengan undang-undang.

''Itu sudah final,'' tegasnya setelah melantik Darmin Nasution sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia di Gedung MA kemarin (27/7).

Tumpa juga menolak anggapan sebagian kalangan bahwa MA telah memperumit pelaksanaan Pemilu 2009. MA juga mempersilakan parpol yang merasa dirugikan mengadu ke Komisi Yudisial (KY).

Dia menambahkan, putusan itu hanya menyatakan bahwa pasal 22 huruf c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 bertentangan dengan UU Pemilu. Tumpa menegaskan, mahkamah tidak mengutak-atik jumlah kursi. ''Kalau baca putusan MA, tidak ada yang mengutak-atik jumlah kursi,'' ujarnya.

Sejalan dengan MA, Wasekjen Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ikhsan Abdullah menyatakan bahwa KPU tidak memiliki pilihan lain selain melaksanakan putusan tersebut. Sebab, kelangsungan kehidupan bernegara bisa terganggu. ''DPR tidak bisa dilantik, sehingga terjadi vacuum of power. Itu sangat berbahaya,'' tegasnya kepada wartawan di kantornya, Jl Sudirman, Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan, tidak dilaksanakannya putusan MA tersebut bukan tanpa konsekuensi sama sekali. Pasal 8 ayat (2) Peraturan MA No 1/2004 jelas menyebutkan bahwa batas melaksanakan putusan yang bersangkutan hanya 90 hari. Jika tidak dilaksanakan, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. ''Begitu isi aturannya. Jadi, mau tidak mau memang harus tetap dilaksanakan,'' katanya.

Soal kewenangan MA, Ikhsan berpendapat bahwa MA memiliki kewenangan tersebut. Sesuai pasal 24 ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan MA adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. ''Nah, salah satunya adalah peraturan KPU tersebut,'' jelasnya.

Di bagian lain, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang juga mantan presiden PKS (partai yang dirugikan oleh putusan MA itu) meminta agar KPU mengabaikan putusan tersebut. ''MA tidak punya kewenangan menguji, apalagi terkait sengketa pemilu,'' tuturnya di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, satu-satunya lembaga yang berhak memutus sengketa pemilu hanyalah Mahkamah Konstitusi. ''Sedangkan yang kita tahu, MK hanya mempersoalkan penghitungan tahap III, bukan penghitungan kursi tahap II seperti sekarang,'' katanya. Kini, bola memang berada di tangan KPU. (bay/sof/owi/dyn/kum)
Sumber:jawapos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar